MENOLAK SYARIAT, MENUAI
LAKNAT
Sebagaimana telah dimaklumi, akidah Islam
sesungguhnya merupakan pemikiran yang paling mendasar yang
melahirkan syariat Islam. Dengan kata lain, syariat Islam
merupakan cabang dari akidah Islam yang satu sama lain tidak
bisa dipisahkan. Upaya pemisahan syariat Islam dari
akidahnya (sekularisasi) sama saja dengan memisahkan batang
pohon dari akarnya; tidak akan dapat menghasilkan buah (manfaat).
Sebab, memisahkan keduanya berarti menghilangkan pengaruhnya
dan mencabut fungsinya. Hilangnya pengaruh syariat tidak
mungkin terjadi sekiranya akidah Islam dipahami secara benar.
Seorang Muslim yang memahami akidah Islam secara benar tentu
tidak akan terdorong untuk mencampakkan syariat yang
dilahirkan dari akidah tersebut sembari mencari "syariat"
lain. Ia akan memahami bahwa akidah Islam dibangun di atas
landasan keimanan kepada Allah Yang Maha Pencipta dan Maha
Pengatur. Karenanya, ia akan meyakini pula bahwa Allah Yang
Maha Pencipta pasti mengetahui semua yang diciptakan-Nya;
mengetahui mana yang layak bagi manusia dan mana yang tidak.
Islam Sebagai Solusi
Akidah Islam adalah akidah yang bersifat manusiawi, demikian
pula syariatnya. Keduanya layak bagi manusia; tanpa
memandang warna kulit, ras, atau unsur pembeda lainnya; juga
tanpa memandang ruang dan waktu. Islam telah memberikan
jawaban bagi setiap kebutuhan fisik dan naluri manusia.
Islam telah memberikan solusi atas setiap problem yang
dihadapi manusia sebagai pribadi ataupun bagian dari
kelompok dan masyarakat. Sebab, Allah SWT berfirman:
Kami telah menurunkan al-Kitab (al-Quran) ini sebagai
penjelas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat, dan
kabar gembira bagi kaum Muslim. (QS an-Nahl [16]: 89).
Di masa lalu, di kalangan kaum Muslim maupun non-Muslim,
kenyataan bahwa negara merupakan bagian dari Islam dan Islam
terdiri dari akidah dan syariat adalah hal yang sudah sangat
masyhur. Di samping itu, Islam telah menentukan hubungan
luar negeri dengan negara-negara lain di atas landasan
dakwah Islam dan jihad fi sabilillah. Islam membangun
realitas tersebut sembari menetapkan target-targetnya, serta
menyebarluaskannya ke seluruh penjuru dunia, sehingga Islam
seluruhnya hanya milik Allah.
Berbagai hubungan dan sistem yang ada tidak mungkin
ditetapkan atau ditentukan oleh realitas yang ada atas nama
‘dinamika’ atau ‘perkembangan zaman’. Masalahnya, tidak bisa
dikatakan bahwa, realitas kehidupan itu selalu berubah dan
mengharuskan kita untuk menentukan bentuk-bentuk pendekatan
yang tidak bertentangan dengannya. Inilah sebetulnya yang
merupakan upaya Barat untuk menyesatkan kaum Muslim.
Barat berupaya memuaskan kaum Muslim dengan pernyataan bahwa
manusia saat ini telah berhasil mencapai suatu fase yang
mengharuskan dirinya memiliki satu aturan internasional.
Mereka memandang dunia sekarang sebagai satu negara,
sementara globalisasi perusahaan-perusahaan besar telah
meluas dan memiliki berbagai cabang di setiap negara di
dunia. Dengan kata lain, Barat menjadikan seluruh negara
yang ada sebagai satu negara ekonomi yang dikendalikan oleh
sistem ekonomi mereka. Dari sinilah kemudian, Barat dapat
memperalat undang-undang internasional untuk mengamankan
dominasi mereka di bidang ekonomi, pemikiran, dan politik
atas negara-negara lain di seluruh dunia. Apabila ada satu
negara yang berani keluar dari ‘konvensi’ internasional
(yang sebetulnya dipaksakan), Barat tidak segan-segan untuk
memberikan sanksi internasional kepada negara tersebut,
selanjutnya Barat dan AS akan memimpin dunia seluruhnya
untuk memerangi negara itu.
Dengan demikian, dunia saat ini tidak berdaya dan
terdominasi oleh Barat tanpa mampu keluar dari lingkaran
yang telah dibuat oleh mereka. Dunia pun telah tenggelam
dalam pemikiran seperti ini. Kalaupun ada protes atau
penolakan, hal itu bersifat semu, bukan penolakan yang
sebenarnya. Penolakan tersebut lahir hanya dari kesadaran
emosional, yakni hanya karena merasa dikuasai secara
pemikiran, ekonomi, politik, dan militer; bukan berasal dari
adanya kesadaran ideologis yang menyebabkan mereka mampu
melihat berbagai kerusakan ideologi kapitalis dan upayanya
untuk menguasai dunia atas nama ‘globalisasi’.
Seharusnya, manusialah-dengan bimbingan wahyu Allah-yang
menerapkan sistem/aturan yang dikehendakinya; bukan realitas
yang memaksa manusia untuk menerapkan sistem yang lahir dari
realitas itu, atau bahwa perkembangan zamanlah yang
mengharuskan adanya sistem bagi manusia. Padahal, realitas
itu sendiri tidak lain hanya sekadar sekumpulan masalah dan
peristiwa yang justru memerlukan pemecahan. Pemecahan atau
solusi itu bisa berasal dari sistem kapitalis, dari Islam,
ataupun dari yang lainnya. Akan tetapi, sistem yang benar
bergantung pada akidah yang benar. Dalam hal ini, tidak ada
ideologi yang sahih, baik dari segi dasar maupun sistem yang
dibangun di atasnya, kecuali Islam semata.
Islam telah mewajibkan kaum Muslim untuk mengambil akidah
dan sekaligus syariatnya; tidak boleh keluar dari keduanya.
Islam juga telah memerintahkan kaum Muslim untuk mengatur
kehidupan mereka dan mewarnainya dengan asas akidah Islam;
bukan didasarkan pada perkembangan, tempat, ataupun zaman.
Pada saat kaum Muslim hendak menerapkan Islam, mereka tidak
perlu mendasarkannya pada adat dan tradisi masa lalu, yang
tengah berlangsung, atau yang sedang berpengaruh terhadap
syariat Islam.
Sementara itu, kemajuan material/teknologi yang telah
dicapai dunia saat ini-yang mampu memperpendek jarak,
melipat waktu, dan memungkinkan manusia menembus
batas-batas-sesungguhnya bukanlah sebagai penentu sistem
kehidupan. Namun demikian, Daulah Islam pada saat berdirinya
bisa memanfaatkan berbagai kemajuan sains ini dalam
menerapkan akidah dan sistem Islam serta menyebarluaskannya;
bukan dengan kekuatan, pemaksaan, dan tindakan zalim
sebagaimana yang dilakukan oleh Barat saat ini. Sebab, Islam
melakukan hal itu dengan argumentasi dan hal-hal yang
memuaskan manusia, setelah sebelumnya menghilangkan berbagai
penghalang yang bersifat fisik yang merintangi jalan dakwah.
Upaya ini telah dilakukan oleh kaum Muslim di masa lalu,
sebagaimana juga dituntut kepada kaum Muslim saat ini.
Perlunya Ideologi Alternatif
Dunia saat ini sesungguhnya telah terpedaya oleh-atau tunduk
pada-berbagai propaganda Barat. Kenyataan ini merupakan
akibat dari kosongnya dunia ini dari sebuah pemikiran yang
bersifat ideologis yang mampu meng-counter serangan
pemikiran, media massa, ekonomi, politik, maupun militer
Barat. Padahal, jika saja dunia ini memiliki sebuah
pemikiran ideologis kontra-Barat yang kapitalistik, niscaya
ia akan memiliki kekuatan yang tidak bisa dikalahkan. Kaum
Muslimlah-dengan ideologi Islamnya-yang diharapkan menjadi
penantang Barat, mengungkap tabir kepalsuannya, dan
sekaligus mengukuhkan kebenaran Islam. Sebab, merekalah yang
menjadi pengemban ideologi yang benar; yang akan mampu
menghancurkan ideologi kapitalisme yang zalim, imperialistik,
dan telah membakar dunia dengan kejahatannya; sementara
dunia ingin melepaskan diri darinya.
Islam adalah ideologi yang selaras dengan fitrah manusia dan
mampu memuaskan akal mereka. Islam, sebagaimana di masa lalu
mampu menciptakan kebahagiaan bagi umat manusia, pada saat
ini pun diharapkan dapat memerankan fungsinya kembali. Sebab,
manusia tetaplah sebagai manusia, tidak berubah. Sementara
itu, sistem Islam yang lahir dari akidah Islam-yang pernah
menciptakan kebahagiaan bagi umat manusia di masa lalu-masih
tetap pada jatidirinya. Islam, dengan sumber-sumber
syariatnya, mampu memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapi umat manusia; betapapun persoalan-persoalan
tersebut demikian banyak, berubah, bercabang, meluas, dan
bertambah kompleks.
Di masa lalu, Daulah Islam sendiri mengalami perluasan.
Sementara itu, pada saat yang sama, komunitas kaum Muslim
terus bertambah, berbeda-beda gaya hidupnya, semakin
kompleks interaksinya; di samping munculnya berbagai problem
baru yang tidak ditemukan sebelumnya. Namun demikian, Daulah
Islam dan para ulamanya tetap mampu memecahkan berbagai
persoalan kompleks yang dihadapi umat manusia dalam berbagai
periode mereka. Pada saat itu, mereka tetap menyandarkan
diri pada metode Islam di dalam ijtihad mereka, serta
terikat penuh dengan dasar-dasar dan kaidah-kaidah Islam
yang kukuh. Pada saat itu pula, tidak tampak pada mereka
adanya sebuah pemikiran pun bahwa Islam tidak akan berdaya
dalam mengantisipasi zaman; bahwa Islam tidak akan mampu
memecahkan berbagai problem kehidupan baru. Pemikiran
tersebut hanya muncul pada saat ini, yakni pada saat adanya
serangan pemikiran, politik, dan militer yang dilancarkan
oleh Barat ke negeri-negeri kaum Muslim.
Desekularisasi Islam dan Penegakkan Syariat
Pada saat ini, kaum Muslim sampai pada kondisi yang sangat
buruk di dalam pemahaman Islam dan penerapannya, serta tidak
berdaya di hadapan propaganda Barat. Selanjutnya, sejak saat
itu-sampai hari ini-banyak ulama Islam yang mulai membela
Islam dengan cara yang keliru. Mereka, misalnya, mulai
melontarkan gagasan bahwa Islam itu bersifat elastis; bahwa
syariat Islam itu bersifat dinamis; bahwa kaum Muslim boleh
saja mengambil sistem Barat karena tidak bertentangan, atau
sesuai, dengan Islam. Lantas, jadilah syariat Islam
dipisahkan dari akidahnya; gagasan negara Islam pun-yang
berkewajiban menerapkan Islam-kemudian dijauhkan dari benak
kaum Muslim; sementara kehidupan kaum Muslim tidak
didasarkan pada keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam
pengertian yang sesungguhnya.
Gagasan dan praktek pemisahan akidah Islam dari syariatnya (baca:
sekularisasi) ini wajib diperhatikan benar oleh para da‘i di
kalangan kaum Muslim. Mereka tidak boleh terpedaya oleh
tindakan yang telah dilakukan sebelumnya. Alasannya,
keterpedayaan para da‘i dan kaum Muslim dengan gagasan
tersebut mengandung makna pengkhidmatan terhadap musuh-musuh
Islam dan memperpanjang dominasi mereka. Mereka harus
menyadari bahwa problem yang dihadapi kaum Muslim saat ini
perlu dipecahkan. Problem tersebut tidak terletak pada Islam
itu sendiri (yang memang telah sempurna), tetapi muncul
sebagai akibat diterapkannya secara paksa sistem kapitalis
atas kaum Muslim. Para da‘i dan kaum Muslim tidak perlu
memandang pada upaya untuk melakukan perbaikan atas berbagai
kekurangan/kekeliruan dari sistem Barat-yang memang rusak
sejak dasarnya-yang diterapkan atas mereka. Mereka pun tidak
perlu melakukan ‘tambal-sulam’; melakukan sinkretisme/eklektisisme
(pencampuradukan antara hukum Islam dan undang-undang Barat);
dan berpijak pada solusi ‘jalan tengah’ (kompromistis).
Sebaliknya, mereka harus berusaha untuk menerapkan
hukum-hukum Islam di atas landasan, “Lâ ilâha illâ Allâh
Muhammad Rasűlullâh,” yang bermakna, “Tidak ada Pencipta dan
Pengatur alam ini kecuali Allah serta tidak ada yang layak
ditaati selain Diri-Nya.”
Syariat Islam itu sendiri merupakan wahyu yang diturunkan
oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw. Di dalamnya telah
dijelaskan bagaimana seharusnya manusia melakukan ketaatan
kepada Allah.
Sementara itu, pemisahan akidah Islam dari syariatnya (sekularisasi),
mengandung pengertian bahwa seorang Muslim boleh berkata,
“Tidak ada yang wajib ditaati dengan sebenar-benarnya
kecuali Allah,” sedangkan pada saat yang sama, kita
melihatnya berada di dalam naungan sistem yang sama sekali
tidak mengandung ketaatan kepada Allah. Ini jelas sangat
kontradiktif dengan hakikat Islam itu sendiri.
Islam Sebagai Rahmat
Seorang Muslim, siapa pun, sudah selayaknya meyakini bahwa
syariat Islam merupakan rahmat bagi mereka, bahkan bagi
seluruh alam. Karena itu, tidak ada alasan apapun untuk
melakukan sekularisasi atau pemisahan akidah Islam dari
syariatnya, karena Allah SWT berfirman:
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai
rahmat bagi seluruh alam. (TQS al-Anbiya' [17]: 107).
Berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh an-Nawawi al-Jawi
dalam tafsir Marah Labid (Tafsir Munir) Juz II/ 47
menafsirkan bahwa Allah tidaklah mengutus Nabi Muhammad saw.
dengan membawa berbagai peraturan (syariat) melainkan
sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Rahmat dalam ayat di atas tidaklah berkaitan langsung dengan
Muhammad saw. sebagai seorang manusia, tetapi berhubungan
erat dengan posisinya sebagai rasul pembawa syariat yang
memang paling unggul dibandingkan dengan aturan-aturan
apapun yang ada di dunia. Artinya, pengagungan kaum Muslim
terhadap pribadi Muhammad tidaklah akan mendatangkan berkah
apa-apa, juga tidak akan menjadikan agama Islam mengungguli
agama-agama/ideologi-ideologi lain, jika pada saat yang sama
mereka mencampakkan syariat yang dibawanya. Allah SWT
berfirman:
Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa
petunjuk dan agama yang hak agar Dia menangkan agama itu
atas semua agama-agama lainnya. Cukuplah Allah sebagai saksi.
(TQS al-Fath []: 28).
Dengan demikian, rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil
‘âlamîn) akan tetap terwujud dalam realitas kehidupan
kendati Nabi Muhammad saw. telah lama wafat; tentu saja jika
seluruh risalah yang dibawanya diterapkan dalam realitas
kehidupan. Sebaliknya, rahmat bagi seluruh alam itu tidak
akan pernah muncul manakala kaum Muslim tidak menerapkan
syariat Islam yang bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah.
Karena itu, berbagai upaya untuk menutupi, menghambat, dan
menentang penerapan syariat Islam pada hakikatnya adalah
menutup diri dari rahmat Allah. Lebih dari itu, menolak
syariat, pasti akan menuai laknat, di dunia dan akhirat.
Wallâhu a'lam bi ash-sawâb.