eramuslim - Melati tak
pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya. Ia tak
memiliki warna dibalik warna putihnya. Ia juga tak
pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya,
apapun kondisinya, panas, hujan, terik ataupun badai
yang datang ia tetap putih. Kemanapun dan dimanapun
ditemukan, melati selalu putih. Putih, bersih, indah
berseri di taman yang asri. Pada debu ia tak marah,
meski jutaan butir menghinggapinya. Pada angin ia
menyapa, berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu
agar ianya tetap putih berseri. Karenanya, melati ikut
bergoyang saat hembusan angin menerpa. Kekanan ia ikut,
ke kiri iapun ikut. Namun ia tetap teguh pada
pendiriannya, karena kemanapun ia mengikuti arah angin,
ia akan segera kembali pada tangkainya.
Pada hujan ia menangis, agar
tak terlihat matanya meneteskan air diantara ribuan
air yang menghujani tubuhnya. Agar siapapun tak pernah
melihatnya bersedih, karena saat hujan berhenti
menyirami, bersamaan itu pula air dari sudut matanya
yang bening itu tak lagi menetes. Sesungguhnya, ia
senantiasa berharap hujan kan selalu datang, karena
hanya hujan yang mau memahami setiap tetes air matanya.
Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya, untuk
mengadu, saling menumpahkan air mata dan merasakan
setiap kegetiran. Karena juga, hanya hujan yang selama
ini berempati terhadap semua rasa dan asanya. Tetapi,
pada hujan juga ia mendapati keteduhan, dengan airnya
yang sejuk.
Pada tangkai ia bersandar,
agar tetap meneguhkan kedudukannya, memeluk erat
setiap sayapnya, memberikan kekuatan dalam menjalani
kewajibannya, menserikan alam. Agar kelak, apapun
cobaan yang datang, ia dengan sabar dan suka cita
merasai, bahkan menikmatinya sebagai bagian dari cinta
dan kasih Sang Pencipta. Bukankah tak ada cinta tanpa
pengorbanan? Adakah kasih sayang tanpa cobaan?
Pada dedaunan ia berkaca,
semoga tak merubah warna hijaunya. Karena dengan hijau
daun itu, ia tetap sadar sebagai melati harus tetap
berwarna putih. Jika daun itu tak lagi hijau, atau
luruh oleh waktu, kepada siapa ia harus meminta
koreksi atas cela dan noda yang seringkali membuatnya
tak lagi putih?
Pada bunga lain ia bersahabat.
Bersama bahu membahu menserikan alam, tak ada
persaingan, tak ada perlombaan menjadi yang tercantik,
karena masing-masing memahami tugas dan peranannya.
Tak pernah melati iri menjadi mawar, dahlia, anggrek
atau lili, begitu juga sebaliknya. Tak terpikir melati
berkeinginan menjadi merah, atau kuning, karena ia
tahu semua fungsinya sebagai putih.
Pada matahari ia memohon,
tetap berkunjung di setiap pagi mencurahkan sinarnya
yang menghangatkan. Agar hangatnya membaluri setiap
sel tubuh yang telah beku oleh pekatnya malam.
Sinarnya yang menceriakan, bias hangatnya yang memecah
kebekuan, seolah membuat melati merekah dan segar di
setiap pagi. Terpaan sinar mentari, memantulkan cahaya
kehidupan yang penuh gairah, pertanda melati siap
mengarungi hidup, setidaknya untuk satu hari ini
hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.
Pada alam ia berbagi, menebar
aroma semerbak mewangi nan menyejukkan setiap jiwa
yang bersamanya. Indah menghiasharumi semua taman yang
disinggahinya, melati tak pernah terlupakan untuk
disertakan. Atas nama cinta dan keridhoan Pemiliknya,
ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati
baru, agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga
yang putih. Yang tetap berseri disemua suasana alam.
Pada unggas ia berteriak, terombang-ambing menghindari
paruhnya agar tak segera pupus. Mencari selamat dari
cakar-cakar yang merusak keindahannya, yang mungkin
merobek layarnya dan juga menggores luka di putihnya.
Dan pada akhirnya, pada Sang
Pemilik Alam ia meminta, agar dibimbing dan dilindungi
selama ia diberikan kesempatan untuk melakoni setiap
perannya. Agar dalam berperan menjadi putih, tetap
diteguhkan pada warna aslinya, tidak membiarkan apapun
merubah warnanya hingga masanya mempertanggungjawabkan
semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya. Jika
pada masanya ia harus jatuh, luruh ke tanah, ia tetap
sebagai melati, seputih melati. Dan orang memandangnya
juga seperti melati.
Dan kepada melatiku, tetaplah
menjadi melati di tamanku. Karena, aku akan menjadi
angin, menjadi hujan, menjadi tangkai, menjadi
matahari, menjadi daun dan alam semesta. Tetapi takkan
pernah menjadi debu atau unggas yang hanya akan
merusak keindahannya, lalu meninggalkan melati begitu
saja. (Bayu Gautama)